Namaku lian. Kata ibuku, aku si anak perempreman, perempuan tapi preman.
Semua benda yang kusentuh seperti kesakitan. Seperti semut-semut yang kuelus tubuhnya malah bercerai-berai. Seperti daun putri malu yang kusentuh jadi layu.
Sekelebatan yang kuingat tentang masa kecilku adalah bentuk tangga dari papan. Lalu aku melihat sekeliling ruangan dari anak tangga itu. Samar-samar kuingat yang terlihat adalah hiasan jam dinding dengan gambar Kabah, lalu permadani dinding bergambar serupa. Yah walaupun semua itu tetap bisa kulihat tanpa harus menaiki tangga sih.
Aku memang suka berada diatas tangga, menunggu dengan tak sabar atas pertumbuhanku yang tak kunjung meninggi. Di tangga, tunggu, tinggi.
Itulah aku.
Ibuku juga membenarkan, waktu kecil aku memang jago memanjat tangga. Pas ngandung aku, kulitnya rusak dan harus makan daging kera, katanya. Dan jadilah aku anak perkampungan jakarta yang tak ada halaman serta pohonnya yang jago memanjat tangga.
Kadang aku menyesalkan kenapa ibuku bukan diharuskan makan daging kurban atau daging unta saja sekalian. Mungkin aku bisa lebih agamis. Jago yang kupanjat, bukanlah tangga semata melainkan do'a.
Aku juga ingat fakta bahwa bermain petak umpet meski dibawah cahaya bulan ditambah lampu jalan gang depan rumah mamah tika. Penerangannya tidak membantu sama sekali. Hampir selalu berakhir dengan aku yang terjatuh ke got.
Matanya kemana!
Dari petak umpet jadilah petaka umpat.
Tapi, biarpun begitu ada bagian dari petaka itu yang kusuka. Ya! Mandi kembang tujuh rupa sesudahnya. Entah apa dulu aku memang sengaja terjatuh ya? Ah... walau suka terjatuh tapi aku jarang menangis, tidak seperti salah satu teman bermainku, si eu yang suka nangis, katanya dicubit olehku.
Adeknya si eu juga sering nangis, yang mirip sama aku. Konon karena ibunya dari dulu benci sama aku semenjak si eu dari kecil sering aku tangisin.
Ada suatu hari dimana jepit rambut baru adeknya si eu, lucu. Aku hanya ingin melihat bentuknya saja. Sungguh! Tapi si eu itu melihat gelagatku, takut aku ambil mungkin. Direbutnya dengan kasar dan jadilah patah. Adeknya si eu nangis, si eupun nangis, jepit rambutnya patah, ibunya murka. Semua karena prasangka. Sedikit hatiku terbuka. Luka.
Dan saat itu kuharap beliau sedang mengandung lagi.