Selasa, 07 Januari 2014

#4 Air


Aku kala itu adalah anak pintar menurut definisiku sendiri.
Aku sudah bisa mandi sendiri. Makan-makan sendiri.
Walaupun nyuci baju sendiri baru sebatas dalam permainan barbie.

Di rumah yang aku tinggali ini, rumah nenek dari pihak ayahku.
Ada bak mandi yang besar sekali untuk ukuran anak kecil nan imut sepertiku.
Dan bagi bangsa semut, mungkin salah satu provinsi kepulauan di negara mereka.



Oya, Sering kali aku tergoda untuk nyebur ke bak mandi yang menurut imajinasiku bagaikan kolam tanding di gelanggang renang ancol itu.

Hingga suatu hari di musim panas, yang merupakan waktu bermain yang asyik

Bak itu bagaikan memanggil namaku, agar masuk kedalamnya
Aku pun ngeces.
bukan ngeces hp tentunya, karena tentu saja di kamar mandi tidak ada stop kontak dan aku belum punya hp tentu saja

Tak tahan, Aku pun nyebur.
Aku juga berendam dengan anggunnya, berkhayal pula seperti bintang iklan lux
Jika ada orang yang seperti memasuki area kamar mandi, aku akan berpura-pura sedang mengguyur.
Oh tentu saja aku hebat soal itu.

Tiba-tiba saat asyik berendam aku merasa ingin pipis, aku buru-buru keluar dari bak mandi.
Mudah2n tidak keluar pipisku disitu biarpun beberapa tetes.
Ini harapanku.


Malam harinya, sebelum tidur aku melihat kakakku menggosok gigi.
Ia berkumur-kumur dengan air di bak mandi. Teringat perihal pipisku, reflek aku berteriak.
Kakakku kaget dan keselek.
Air bak mandinya terminum juga olehnya.

Bukan hanya air bak mandi secara umumnya saja, tapi juga itu berarti air yang mengandung rendamanku.
Bekas rendaman kakiku, bahkan seluruh badanku, airnya terminum olehnya.

Dan itu tandanya,

Selamat kak! Kakak akan jadi kakak yang berbakti! :))


PS: Kalau ada mitos tentang minum air rendaman orang tua bisa jadi anak berbakti, jangan percaya.

Buktinya setelah kakakku meminum air rendamanku, tak ada tanda-tanda kakakku menjadi berbakti kepadaku. Sampai sekarang.

Dan kalau mitos itu memang benar, mungkin semua kolam renang baik untuk sarana "kebaktian umum".

Senin, 06 Januari 2014

#3 Persami


Persami pertamaku waktu aku kelas tiga sd.
Anak kelas tiga yang ingin belajar berkemah di ijinkan untuk ikut asal dengan persetujuan orang tua atau didampingi orang tua.

Aku pun tak ingin ketinggalan,

Dan uh yah ibuku mendampingiku.
Sebenernya aku tak ingin beliau ikut. Karena ah nanti saja kalian akan tahu....


Hari yang ditunggu pun tiba. Dan rupanya ternyata ibu-ibu temanku tidak ada yang ikut.
Hanya aku dan satu-satunya temanku yang membawa ibu. Dan tentu saja mungkin tidak masuk hitungan karena ibunya adalah Ibu Guru.

Ah aku makin tidak ingin ibuku ikut.


Malam pun tiba,
Hal yang sangat kucemaskan, hal yang membuat aku enggan ibuku untuk ikut.
Ibuku sudah akan tidur. Aku mulai resah.
Ya, karena suara dengkuran beliau sangat besar dan menurutku memalukan.


Ibuku mulai mendengkur kecil. Aku masih terjaga.
Ia agak mulai mendengkur dengan suara berat. Aku menarik nafas tertahan.
Aku menggoyangkan badan ibuku agar tidak terlalu besar dengkurannya.
Tapi tetap saja itu tidak merubah apapun, malah membuat suara dengkuran ibuku sepertinya bertambah besar.

Aku pun makin panik, aku takut suaranya terdengar sampai keluar tenda.
Aku ingin membungkam mulutnya, tapi aku takut membuatnya meninggal.

Aku mencoba merubah posisi badan ibuku, hingga tak terasa malam kian larut.

Ku sadar sekelilingku. Gelap. Dan hening. Dan tentu saja suara dengkuran ibuku mungkin makin kentara. Aku takut, dan aku malu.

Tak terasa aku menangis. Dan tahu-tahu aku merasa celanaku hangat. Ya aku mengompol.

Aku lalu membangunkan ibuku.
Untung saja ia Ibuku! Kalau tidak, siapa pula yang mau menemaniku ke toilet umum di perkemahan cibubur malam-malam begitu.

Untung saja ia Ibuku! Kalau tidak, berita ompolku sudah tersiar.

Dan ya, aku lupa aku telah menginginkannya untuk tidak ikut, karena setelahnya aku tertidur pulas di pelukannya.

Rabu, 01 Januari 2014

#2 Kebodohanku, dulu


bu Endang, guruku kelas tiga sd
Guruku yang setelah persami kuketahui paling gaya, dengan kacamata hitamnya keluar dari sebuah mobil sedan. Ia keluar dari pintu sebelah kanan.
Yang artinya selain guru, iapun supir. Maksudku bisa menyetir mobil. Wah!

Pagi itu hari senin, bu Endang menagih tugas peer. Tiba giliranku, kubilang buku peerku ketinggalan.

Ibu Endang menatapku sekilas. Entah berapa detik, tapi sanggup membuatku gugup. Aku rasa beliau sedang menilaiku, berbohong atau tidak.
Aku pun tahu konsekuensinya jika mengatakan demikian artinya aku harus mengambilnya dirumah. Meski rumahku dekat, aku sebenernya enggan. Maklum diluar bekas turun hujan jadinya jalanan becek.

Aku pun permisi minta ijin pulang. Dengan berlari ditengah jalanan becek aku pun menuju rumah.
Singkat cerita, beberapa lama kemudian akupun sudah kembali dengan buku peerku.
Halaman peerku sudah terisi penuh. Bukan hanya penuh dengan tugas peerku, tapi juga dengan penuh penyesalan.

Aku tidak mencontek, tidak bukan itu yang menyebabkan aku merasa demikian.
Justru tugas peerku saat itu adalah mencontek.
Ya, namanya juga tugas menulis tegak bersambung alias laten.


Tahu apa yang terlewat dibagian ini?


Sebenarnya saat aku menyadari bahwa aku lupa mengerjakan peer. Dengan perlahan aku memasukan bukuku kedalam baju.
Setelah permisi ijin pulang aku langsung mengerjakan peer tegak bersambungku yang sepanjang dua halaman itu. Tulisanku acak kadut. Demikian hatiku.


Tahu kan apa yang seharusnya membuatku menyesal saat itu?

Yah. Aku sebenernya tidak harus berbohong dengan pulang ke rumah untuk berpura-pura mengambil buku peerku dan mengerjakannya dirumah. Seharusnya aku tidak perlu mengeluarkan tenaga begitu banyak untuk berlari demi sebuah kebohongan.


padahal bisa saja aku mengerjakannya di wc sekolah dan berpura-pura sehabis dari rumah dengan menempelkan sedikit lumpur di rok putih belakangku.


Yah. Aku pun baru menyadari kebodohanku itu saat menulis cerita ini, dan sekarang aku mungkin lebih pintar sedikit. Dalam hal merencakan kebohongan...


Ah, andai saja aku dapat kembali ke masa kecilku....

Ups, apakah ini salah satu kebodohan di masa sekarang?

#1 Pelajaran Bahasa

Waktu itu aku masih sd. Entah kelas berapa.
Yang aku ingat hanyalah rok yang berwarna merah serta dasi dengan warna senada. Aku duduk didepan, bukan dengan pak kusir. Karena pastinya itu hari sekolah, bukan hari minggu.

Pelajaran bahasa indonesia sedang berlangsung kala itu, sepertinya. Guru menyuruh kami untuk membuat kalimat larangan, sepertinya.

“Anak-anak, coba berikan contoh kalimat larangan!”

”Dilarang merokok bu!” Kata temenku dari arah belakang sepertinya, dan entah namanya aku lupa.

”Bagus!” Kata Guru sepertinya. Entah memuji, atau nama temenku itu Bagus.


“Dilarang parkir di depan pintu bu!“
“Dilarang berhenti bu!“
“Dilarang ngutang bu!“
“Dilarang beli garem malem malem bu!“
“Dilarang mencontek bu!“
“Dilarang gak pake dasi bu!“



Semua anak-anak dikelas sepertinya bernafsu ingin memberikan contoh kalimat larangan. Dan suasana kelas pun berubah menjadi gaduh karena semua berbicara dengan waktu yang bersamaan.
Lalu, terdengar suara ketukan dari penghapus papan tulis.

Dilarang berisik! Arti ketukan itu. Tanpa harus diucapkan oleh Guruku.


Aku pun tak mau ketinggalan. Kalimat larangan yang tentu saja aku hapal karena kebetulan terpasang dekat gang rumahku menuju sekolah. Dan selalu aku baca jika melewatinya.


“Dilarang membuang sampah disini kecuali Anjing, Babi, Bangsat BU!!!!“ Suaraku nyaring dan mantap.


Guruku pun melotot.
Sepertinya.