Rabu, 08 Juni 2016

Sebuah cerita tanpa tujuan

Ada banyak sekali yang ingin saya ceritakan.

Dengan seseorang.


Banyak yang heran dengan saya, karena saya tidak menangis saat menghadapi kematian maupun pemakaman Ayah saya. 
Berbanding terbalik saat beliau sedang dalam masa kritis, yang mana saya terlihat terlalu memaksakan Ayah saya untuk berjuang.
Entahlah, mungkin ikhlas adanya.
Mungkin saya juga sudah terlampau lelah menangisi Ayah saya.

Dahulu, saya sering membayangkan jika orang tua saya meninggal. Hingga terkadang, saat malam saya suka mengecek "nafas" orang tua saya.
Ayah saya dulunya berjualan kue di monas, hingga 14 tahun lamanya. Pekerjaan beliaulah yang menghasilkan sesuatu yang merupakan anugerah yang tidak bisa ditukar oleh uang, yaitu waktu.
Ya, karena berjualan kue untuk orang-orang yang senam pagi saja, maka Ayah saya jam 10pagi sudah berada dirumah. Anugerah waktu bersama Ayah saya.
Ibu saya juga hanya ibu rumah tangga biasa. Anugerah waktu bersama Ibu saya juga.
Masa kecil saya indah, tidak kekurangan waktu bersama dengan orang tua saya.

Beberapa minggu ini, sepeninggal Ayah, saya berusaha mengira-ngira akankah usia Ayah saya jadi lebih panjang apabila anugerah waktu yang diberikan Tuhan untuk bersama keluarganya lebih sedikit?
Maksudnya, banyak Ayah yang lain yang yah... Tidak ada waktu dengan keluarganya, tetapi usianya jauh lebih panjang.
Yah, walaupun 63th usia yang sama dengan usia Rosul. Tetapi maafkanlah hamba yang masih suka bertanya seperti ini, Wahai Dzat yang Maha Esa...


Saya sangat berterima kasih kepadaMu ya Allah, atas kesempatan-kesempatan yang Kau Anugerahkan kepada hamba lagi. Yaitu adanya Waktu untuk bersama si Papa hingga detik terakhirnya.
Rencanamu menakdirkanku sebagai;
Seorang anak yang belum menikah.
Tidak bekerja di perusahaan besar.
Terima kasih.
Sungguh saya sangat bersyukur.
Mungkin, jika saya berkeluarga, atau seseorang karyawan di perusahaan besar, keterbatasan untuk menjaga Ayah saya semakin besar.

Ini logika saya.

Allah, Kau pasti tahu pembicaraan saya dengan ayah saya di kamar waktu itu. Berdua saja. Seperti beberapa malam-malam sebelumnya, berdua saja.
Tanggal 18 Maret 2016.
Hari itu dua hari setelah ayah saya didiagnosa sakit keras. Sakit yang teramat keras.
Saat ayah saya sepenuhnya sadar penyakitnya.
Saat saya si cengeng ini tidak sengaja menumpahkan air mata ini..
Saat ayah saya berusaha menghibur saya dan berkata, jangan bodoh, Papa gak bakal mati. Justru Papa yang gak bisa apa-apa kalau lian gak ada.

Allah, saya bukan pengingat kata-kata yang bagus. Tapi ingatan akan rasa itu kuat. Lupa kata-kata detailnya tapi ingat selalu rasanya.

Malam itu,
Bagaimana ayah saya memeluk dan mengelus rambut saya.
Saya memejamkan mata dan benar-benar berusaha menyerap ingatan akan rasa itu.
Tidak, jangan katakan saya sudah berfirasat saat itu. Akan tetapi, sebelumnya sudah saya beritahu dari awal. Karena saya suka mengecek "nafas" sedari kecil, bukan?

Di malam itu juga, saya yakin seyakinnya satu hal bahwa, ayah saya masih mencintai ibu saya.
Bukan hal yang aneh memang.
Tapi selama ini mereka sering bertengkar. Dan sering timbul pertanyaan dibenak saya,
Apakah mereka berdua masih saling mencintai?


Malam itu juga, kami berbincang soal saya yang.... yang belum ada gambaran untuk menikah.
Tak apa-apa kata ayah saya.


Dan sekarang...

Hai dengarlah, jodohku dimanapun kamu berada. Siapapun kamu itu.
Ayah saya, sudah berpulang ke pangkuanNya tanpa sempat saya banggakan untuk diperlihatkan kepadamu. Betapa hebatnya ia.
Maafkanlah jika nanti saya menikahimu kelak...
Mungkin saya akan tetap akan menjadi seorang anak perempuan ayah saya yang cengeng.
Tapi kamu masih setia mengusap airmata saya, bukan?











Tidak ada komentar:

Posting Komentar